REFERENCES

BENANG MERAH GURU DEMO

Oleh

M.SUHARYADI

Sekretaris Umum FMGI Lampung Utara

Menyimak berita aksi demo guru dan Siwa SMPN 1 Kotabumi sebagai protes terhadap kebijakan Dinas Pendidikan yang mengganti Kepala Sekolah menarik untuk dicermati (Radar Lampung/18/02/09). Berikutnya disusul demo siswa menuntut dipertahankannya jabatan kepala sekolah SMAN 2 Kotabumi semakin menambah buram wajah pendidikan di Provinsi Lampung.  Biasanya aksi demo guru dan siswa lebih banyak terjadi untuk meminta Dinas Pendidikan menganti Kepala Sekolah yang tidak aspiratif dan melakukan pelanggaran-pelanggaran yang membuat guru dan siswa tidak nyaman. Mogok dan demo guru baru-baru ini juga terjadi dipicu oleh keterlambatan pembayaran tunjangan fungsional di beberapa daerah. Tak sedikit yang menganggap ini sebagai Anomali prilaku guru yang selama ini dianggap sebagai noble vocation, namun tidak sedikit yang memberi dukungan  karena sudah saatnya mengubah stereotip guru yang penakut, penurut, selalu pasrah , tidak memiliki rasa percaya diri  dan tidak  bangga dengan profesinya.

Mogok dan demo guru mungkin masih akan sering terjadi bila pemerintah (birokrat pendidikan) masih berprilaku seperti amtenar yang selalu minta dituruti dan dihormati semua kebijakannya ,meskipun kebijakan yang diambil tidak populer dikalangan para guru. Pengalaman penulis menjadi Ketua Penerimaan Siswa Baru di sekolah menjadi pengalaman pahit yang sangat berharga, kala itu penulis “dipaksa” untuk memasukan siswa baru tanpa melalui prosedur yang sudah ditentukan seolah-olah penulis dianggap sebagai bawahan yang harus mengikuti semua permintaan atasan , karena menolak permintaan birokrat penulis dimutasi kesekolah lain karena dianggap tidak loyal dan tidak tahu diri. Mogok dan demo guru tidak akan terjadi bila Dinas Pendidikan bersikap arif dalam memutuskan kebijakan dengan  mau menerima masukan dari para guru sebagai pelaku  pendidikan di lapangan, dan tidak segan untuk meralat keputusan  yang tidak punya dasar hukum yang kuat dan menimbulkan resistensi yang tinggi bagi para guru.

Banyak sekali kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah tidak mengakomodir stakeholder seperti Dewan Pendidikan, Pengawas Sekolah, Organisasi Profesi,Komite Sekolah , Dewan Guru, Siswa dan Praktisi Pendidikan. Sehingga Keputusan yang diambil seperti “dagelan” yang jauh dari akal sehat, apalagi mengacu pada peraturan yang berlaku. Geli rasanya mendengar laporan seorang rekan dari salah satu kabupaten, yang Kepala Dinasnya  melarang guru-guru untuk mengikuti sebuah seminar pendidikan didaerahnya hanya karena penyelenggaranya sering mengkritik dinas pendidikan, bahkan ketika sebuah lembaga pendidikan mengadakan try out gratis di kabupaten tersebut sang Kadis memerintahkan seluruh Kepala Sekolah untuk memboikot kegiatan tersebut. Lebih ironis lagi ada Kadis yang memberikan pengarahan pada sebuah pertemuan MKKS dan MGMP mengatakan bahwa Kepala Sekolah diibaratkan sebuah ‘ayam petelur’,dengan tanpa malu sang Kadis mengatakan ,”Kalo sudah gak bisa bertelur lagi lebih baik diafkir”. Luar biasa!  Alih-alih memikirkan mutu, yang terjadi sebagian Kepala Sekolah terpaksa tidak hanya ABS (Asal Bos Senang) tetapi juga harus ABK (Asal Bos Kenyang) untuk menyelamatkan jabatannya. .

Akar masalah dari maraknya demo guru dan siswa dapat diurai dari tarik menarik kepentingan antara Bupati, Kepala Dinas , Baperjakat  dan stake holder lain. Salah satu contohnya adalah pengangkatan Kepala Sekolah. Bagi guru jabatan Kepala Sekolah memang merupakan jabatan yang paling ‘dekat’ untuk dapat diraihnya. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika sampai saat ini minat para guru untuk menduduki jabatan kepala sekolah sangat tinggi. Hal ini terlihat pada cukup besarnya jumlah guru yang mengikuti seleksi kepala sekolah, sehingga muncul persaingan yang tidak sehat. Sudah bukan rahasia lagi kalau kursi kepala sekolah menjadi ‘display’ barang dagangan yang label harganya disesuaikan dengan ‘merek sekolah”, tentu sekolah bermerek ditawar dengan harga yang tinggi.  Meskipun juga masih banyak kepala sekolah berkualitas yang duduk sebagai Kepala Sekolah  tanpa harus membayar.

Pelaksanaaan otonomi daerah secara faktual membuahkan berbagai implikasi, termasuk didalamnya dunia pendidikan. Merasa mengacu kepada semangat dan jiwa yang terdapat di dalam otonomi daerah , pihak pemerintah kabupaten/kota memiliki interpretasi yang berbeda-beda tentang pengangkatan kepala sekolah. Sehingga  sistem yang digunakan dalam penugasan guru sebagai Kepala Sekolah di masing-masing daerah berbeda-beda. Bila banyak kabupen/kota menjadikan jabatan Kepala Sekolah sebagai jabatan fungsional, maka tidak demikian dengan kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah kabupaten Semarang secara tegas menjadikan Kepala Sekolah sebagai jabatan struktural. Ini menunjukkan bahwa tidak semua kepala daerah memahami dan menerapkan pedoman-pedoman hukum positif dalam menata sistem pendidikan di daerah. Untuk menghindari ‘selera’ masing-masing daerah dalam penugasan guru sebagai Kepala Sekolah, seharusnya masing-masing daerah tetap mengacu pada keputusan Menteri Pendidikan Nasional  tentang Pedoman Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah. Karena bagaimanapun keputasan Menteri mempunyai kekuatan hukum yang lebih  kuat dibanding dengan keputusan seorang Kepala Daerah atau Kepala Dinas.

Yang terjadi dibanyak daerah, jabatan Kepala Sekolah ditunjuk karena ‘like and dislike’. Guru yang rajin ke dinas pendidikan atau berani melobi birokrat, maka akan lebih mudah menduduki jabatan kepala sekolah , meskipun tidak memenuhi kualifikasi sebagai kepala sekolah. Padahal  mekanisme pengangkatan kepala sekolah sudah sangat jelas, seorang  Kepala Dinas tidak semaunya sendiri menunjuk ,memutasi atau memberhentikan jabatan Kepala Sekolah. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162/U/2003, Sebelum menetapkan penugasan guru sebagai Kepala Sekolah, Kepala Dinas melakukan pemetaan lowongan Kepala Sekolah sesuai dengan kewenangannya. Dalam rangka menjamin obyektifitas pengangkatan Kepala Sekolah dapat dibentuk Tim Pertimbangan Pengangkatan Kepala Sekolah. Tim Pertimbangan Pengangkatan Kepala Sekolah terdiri dari unsur Komite Sekolah, pejabat pengelola ketenagaan pada pemerintah daerah ,Pengawas Sekolah yang relevan, dan Kepala Dinas . Tim Pertimbangan Pengangkatan Kepala Sekolah ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.

Hampir sebagian besar kabupaten/kota enggan mematuhi keputusan pemerintah pusat tentang syarat-syarat guru yang diberi tugas sebagai Kepala sekolah (mungkin tidak tahu/pura-pura tak tahu). Masih banyak guru yang ditugaskan sebagi kepala sekolah tidak sesuai dengan tingkat dan jenis sekolah yang diajar, yaitu guru SD menjadi kepala SMP atau SMA, guru SMA menjadi kepala SMP atau SMK atau sebaliknya. Padahal sudah jelas pada pasal 4 ayat 2 butir e.  dijelaskan bahwa salah satu persyarataan umum menjadi kepala sekolah adalah guru yang aktif mengajar dan/atau membimbing sekurang-kurangnya 5 tahun pada sekolah yang setingkat dan sejenis dengan sekolah yang akan menjadi tempat bertugas.

Pemerintah daerah (birokrat pendidikan) selalu punya alasan mengapa mereka tidak punya aturan yang jelas tentang penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Alasan ‘klise’ dalam dialog dan diskusi dengan guru dan stake holder selalu dikatakan bahwa semua adalah : ‘ kebijakan Bupati’ ,’kebijakan Kepala Dinas. Wajar saja kalau pendidikan kita semakin tertinggal kalau banyak keputusan-keputausan penting yang berhubungan dengan kepentingan publik hanya mengacu pada ‘kebijakan’. Untuk apa ada aturan kalau ada kebijakan, belajar dari Singapura yang melesat maju sebagai salah satu yang termaju di Asia, ternyata apa yang mereka lakukan sangat  sederhana, Singapura tidak pernah mengenal yang namanya  ‘kebijakan’ yang ada hanya  ‘peraturan’ . Komitmen menjalankan dan menegakkan peraturan oleh pemerintah daerah (birokrat pendikan) adalah salah satu jalan keluar mengatasi problema pendidikan yang selama ini membuat banyak kalangan skeptis akan ada perubahan menuju pendidikan yang lebih bermutu.

Solusi lain yang perlu ditempuh adalah adanya diskusi bersama antara Dinas Pendidikan, DPRD, Dewan Pendidikan, Organisasi profesi, Pengawas Sekolah dan Komite Sekolah agar dicapai kesepahaman dalam pengelolaan pendidikan yang mengacu pada Manajemen Berbasis Sekolah  (MBS ) dan Good School Governance (GSG). Keengganan Dinas Pendidikan untuk berkomunikasi secara intents dengan para guru  bisa jadi disebabkan hampir semua jenjang jabatan srtuktural di Dinas Pendidikan  di banyak daerah diduduki oleh birokrat bukan berlatar belakang Sarjana Pendidikan , sehingga untuk membangun komunikasi dengan para guru sering muncul ‘gap’ sudut pandang guru sebagai pendidik dan sudut pandang birokrat sebagi aparat birokrasi,namun ketika terjadi permasalahan yang berhubungan dengan sekolah maka birokrat pendidikan akan mencari kambing hitam (guru) sebagai penyebabnya. Yang terjadi bila suatu sekolah berhasil dengan baik akan banyak diaku sebagai ‘anaknya’, tetapi bila gagal maka kegagalan itu menjadi  ‘yatim piatu’.

Dalam persepektif makro dan jangka panjang, adakah sisi positif dari ngambeknya para guru itu, yang suatu kelak dapat memberi kontribusi bagi upaya peningkatan mutu pendidikan ? Tentu saja kontribusi dari mogok dan demo yang dilakukan guru terhadap mutu pendidikan tidak serta merta dapat dirasankan dalam waktu singkat. Mungkin demo dan mogok guru tidak akan terjadi lagi bila pemerintah (birokrat pendidikan) lebih profesional dan mengedepankan kepentingan mutu pendidikan  dalam mengambil kebijakan yang bersentuhan langsung dengan guru. Gurupun harus professional, guru bukan tukang yang hanya menanti petunjuk, tetapi lebih sebagai seniman dan intelektual, yang harus aktif, pro-aktaif, inisiatif dan kritis. Semoga semakin banyak guru yang menjadi pelopor dan pembaharu pendidikan, dan bukan sebaliknya sebagai penghambat perubahan.

Leave a comment